Dilema Memilih Karir atau Keluarga

June 06, 2022

 
Manusia beranjak dewasa akan dihadapkan dengan beberapa pilihan yang akan menentukan kehidupan selanjutnya. Sebagai seorang yang memulai berkarir sebagai Pegawai Negeri Sipil, saya rasa karir saya akan terjamin kedepannya, betulkah?

Perkenalkan nama saya Syahrul, seorang Penata Muda jika dilihat dari status golongan PNS saat ini. Baru 3 tahun merasakan menjadi umbi-umbian (sebutan staf PNS) dan banyak kisah seputar kehidupan PNS yang tak sesuai dengan kenyataan kala itu. Kehidupan karir saya saat itu alhamdulillah cukup lancar, lulus dari predikat cumlaude saat Sarjana, mencoba menebar jaring mencari pekerjaan dan tak berkunjung lama dinyatakan lolos untuk menjadi abdi negara.

Kala itu, saya memilih instansi di pemerintah daerah suatu provinsi di Pulau Jawa, alasannya ya tentu agar tidak jauh dari tempat tinggal. Proses rekrutmen waktu itu sudah melalui sistem daring dan beruntungnya pada saat itu para pelamar dapat mengetahui berapa jumlah pesaingnya, maka sebelum mendaftarkan diri saya dapat memprediksi berapa peluang saya untuk lolos, daftar di menit-menit terakhir dan akhirnya tidak sia-sia, meski dibutuhkan 1 dari formasi itu setidaknya pesaingnya tidak cukup banyak.

Berbekal background IT yang mempuni pada saat itu, tentunya otak masih fresh karena baru lulus kuliah, ternyata ketika terjun ke dunia kerja per PNS-an menampar ekspektasi saya bahwa kerja keras dan belajar 4 tahun di perkuliahan terasa percuma, meski jabatan berbau IT nyatanya pekerjaan saya tidak pernah mengurusi ke ITan tersebut, mereka pikir anak-anak IT itu jago buat presentasi powerpoint. yah begitulah, saya rasa mindset para tetua-tetua PNS saat itu siapa yang bisa megang komputer, buat paparan powerpoint sudah dianggap master of IT. Kuliah ngoding tidur ngoding tidur terasa sia-sia hahahahaaa.

Yah, nasi telah menjadi bubur anggap saja kuliah dahulu membentuk mindset atau kerangka berpikir saya, berpikir untuk solve the problem dan it's work it. Ditempatkan di unit yang membutuhkan pemikir dan perencana waktu itu membuat saya bersyukur, meski berat dan banyak tuntutan tugas pekerjaan membuat saya tahu bagaimana sistem pemerintahan ini berjalan. Awal-awal karir itu saya sangat menikmatinya, selain masih bujang, jiwa idealisme saya masih kuat.

Satu tahun pertama dilewati dengan lancar, dan di tahun pertama menjadi CPNS itulah saya juga meminang gadis pujaan selama ini, alhamdulillah karir dan jodoh diberikan kelancaran. Dari pernikahan inilah beberapa tantangan kehidupan dimulai. Berawal dari jarak yang memisahkan, sebelum menikah saya dan istri selalu bersama sejak dari SD hingga kuliah, baru pertama kali terpisah akibat jarak disaat telah menikah dan bekerja, istri saya kebetulan di tahun yang sama juga menjadi umbi-umbian di Pemda Kabupaten di timur homebase saya dan istri. Selama pernikahan sebelum memiliki anak tidak ada tantangan berarti hanya menahan rindu 5 hari saja dan itupun tidak mempengaruhi pekerjaan saya, karir mulai membaik ketika saya diberikan tugas yang lebih menantang daripada sebelumnya.

Satu tahun pernikahan alhamdulillah kami berdua dikaruniai seorang anak yang gemoy sekali, rasa rindu ketika berpisah akibat pekerjaan mulai menguat, sebelum memiliki anak belum ada rasa rindu yang mengganggu pekerjaan. Namun ketika anak ini mulai tumbuh dan berkembang, pikiran mulai bercabang-cabang, saya sempat mengutarakan ke istri saya bagaimana kalau menunggu 5 tahun lagi atau 10 tahun untuk saya bisa pindah berkumpul selagi saya memantapkan karir disini, namun dari mata istri saya kulihat harapan agar saya segera pindah hidup bersama tanpa ada jarak diantara kita.

Saya mencoba memaksakan bagaimana istri saya saja yang pindah, kita beli rumah disini. Namun istri saya tidak ada upaya untuk pindah dikarenakan ada perjanjian 10 tahun untuk tidak mengajukan pindah, padahal saya pikir apa sih yang tidak bisa, apalagi istri ikut suami dapat dipermudah prosesnya. Maka dari situlah dilema dimulai, karir apa keluarga?

Akal sehat saya mengutarakan bahwa mengejar karir itupun tujuannya untuk keluarga bukan? namun apa daya akal sehatpun dipatahkan dengan perasaan, yap saya akhirnya mengalah. Saya yang pindah, meninggalkan karir yang baru saja ditapak. Namun sayang, kesalahan saya waktu itu memilih tempat berlabuh. Seandainya saya kekeuh dengan pilihan saya, maka saya tidak mengulang dari awal karir ini dikarenakan pekerjaan saya sebelumnya masih dapat terpakai di tempat tujuan itu, namun saya lebih memilih pendapat orang lain, saya tahu resiko di tempat tersebut jika ilmu saya tak akan terpakai dan akhirnya itupun terjadi. Kebiasaan pekerjaan yang high pressure di tempat sebelumnya akhirnya terhempas hilang dan kini saya menjadi PNS yang orang-orang awam diluar sana berstigma, yakni "atlit zuma" alias banyak nganggurnya.

Apakah saya frustasi? tentu jelas sangat frustasi, terbiasa dengan banyak pekerjaan namun sekarang malah bingung mencari kerjaan apa yang bisa saya kerjakan. Waktu itu merupakan waktu terberat saya, namun dengan perlahan saya sudah mulai terbiasa, merasa muram seharian namun sampai dirumah senyuman anak yang sangat tulus menyambut kedatangan saya di rumah membuat semuanya lepas dan hangat, untuk saat ini melihat anak saya bahagia cukuplah untuk mengobati perasaan saya, masalah karir kedepan semoga Tuhan memberikan jalan terbaiknya.

Untuk saat ini ngepush rank terus. eh

Menurut kalian lebih penting karir apa keluarga?

You Might Also Like

0 komentar